Selasa, 29 November 2011

Aset dan Kemiskinan

Aset dan Kemiskinan
Teddy Lesmana
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta
Di tengah gemuruh dentuman senjata dalam Perang Dunia II, Presiden Roosevelt dalam pidatonya yang berapi-api berkata “In the future days . . . we look forward to a world founded upon four essential freedoms, including freedom from want.” Ucapannya itu segera menjadi salah satu tema utama dalam era pascaperang.Ungkapan dari Roosevelt tersebut masih menemui relevansinya jika menilik masalah kemiskinan yang merupakan salah satu masalah krusial yang berskala global.
Sementara itu, persistensi tingkat kemiskinan di Indonesia yang selama 10 tahun terakhir berada di posisi 16–19 persen memberikan sinyalemen bahwa ada sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi, kebijakan, dan program pengentasan kemiskinan. Selama ini, program tersebut dijalankan pemerintah dengan lebih terfokus pada premis income sebagai landasan bagi strategi, kebijakan, dan program dalam memberantas kemiskinan di negeri ini.

Dilihat dari sisi anggaran yang dialokasikan, pemerintah tampaknya sudah memiliki semangat yang positif untuk memerangi kemisikinan. Sejak tahun 2004, alokasi anggaran untuk pengurangan terus meningkat dari Rp 18 triliun menjadi Rp 51 triliun di tahun 2007 ini. Anggaran pengentasan kemiskinan ini disalurkan melalui beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, bantuan sekolah/pendidikan, bantuan kesehatan gratis, pembangunan perumahan rakyat, dan pemberian kredit mikro. Semua program tersebut umumnya bertitik tolak dari paradigma pendapatan sebagai patokan dalam memberantas kemiskinan. Realitasnya, tingkat kemiskinan pun belum menunjukkan penurunan yang signifikan bahkan ada kecenderungan terus meningkat.
Penyebab kemiskinan
Berbagai kelompok orang yang tergolong miskin menjadi miskin karena berbagai penyebab dan alasan yang berbeda. Devereux (2002) membagi determinan penyebab kemiskinan ke dalam tiga kelompok. Pertama kemiskinan yang disebabkan oleh, produktivitas rendah (ketidakcukupan pendapatan atas upaya kerja dan minimnya kepemilikan dan utilisasi input-input produktif). Kedua, kemiskinan karena kerentanan (risiko dan konsekuensi atas turunnya pendapatan dan konsumsi). Ketiga kemiskinan karena ketergantungan (ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan akibat ketidakmapuan untuk bekerja).
Kemiskinan yang disebabkan oleh produktivitas rendah dapat diatasi dengan kebijakan intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dalam bentuk program peningkatan produktivitas. Sementara itu, kerapuhan dalam pendapatan kaum miskin dapat diatasi dengan kebijakan jaringan pengaman sosial jangka pendek baik dalam bentuk tunai atau bahan makanan, upaya perbaikan sistem pendapatan, atau penciptaan kesempatan dalam memperoleh pendapatan. Terakhir, kemiskinan yang disebabkan oleh ketergantungan akibat ketidakmampuan fisik, mental, usia lanjut, bisa ditangani dengan membangun sistem kesejahteraan sosial antara lain melalui program semacam bantuan tunai langsung.
Dipengaruhi studi Amartya Sen (1981) mengenai kelangkaan pangan dan hak-hak akan aset dan kapabilitas, sebagaimana pula halnya studi Robert Chambers (1992;1994) mengenai risiko dan kerapuhan, muncul perdebatan yang luas antara kemiskinan sebagai suatu konsep statis dan kerentanan di sisi lain sebagai konsep dinamis. Pendekatan berbasis aset ini memfokuskan pada pendefinisian konsep-konsep mengenai aset, kerentanan, kemampuan dan sumber daya, serta pengembangan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi dampak guncangan terhadap pendapatan dengan fokus pada aset dan hak-hak kaum miskin.
Penekanan konsep ini juga berkaitan dengan konsep pemberdayaan kemampuan. Oleh karenanya, aset ini bukan semata sumber daya yang digunakan untuk membangun kehidupan, tetapi lebih kepada memberikan kemampuan bagi setiap individu untuk menjadi dan bertindak dalam menjalani kehidupannya (Bebbington, 1999). Meskipun terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan dan aset, keduanya merupakan konsep yang berbeda. Aset merujuk pada jumlah kekayaan sedangkan pendapatan merujuk pada arus sumber daya ekonomi dalam sebuah keluarga.
Pengentasan berbasis aset
Sekitar 16 tahun yang lalu, Profesor Michael Sherraden menulis satu buku yang inovatif yang melahirkan konsep membangun aset dan investasi sosial sebagai alat kebijakan antikemiskinan. Dalam bukunya, Sherraden mempertanyakan kembali efektivitas strategi-strategi tradisional dalam mengentaskan kemiskinan yang sangat terfokus kepada dukungan pendapatan di berbagai negara yang dipandang tidak efektif untuk mendorong kaum miskin keluar dari kemiskinan.
Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Lebih jauh, pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya aset-aset yang bersifat finansial namun juga meliputi modal insani, modal sosial, dan aset-aset fisik lainnya yang dapat diakumulasi, disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan.
Strategi baru ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jerat kemiskinan dan bukan sekadar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Lebih jauh, perspektif ini sangat berguna bagi mereka yang berada pada risiko kemiskinan persisten di mana bantuan tunai tidak dapat mengatasi hambatan-hambatan struktural yang selama ini menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya juga merupakan hambatan kunci terhadap kemakmuran.
Program-program membangun aset, baik di negara-negara berkembang maupun maju, adalah upaya untuk menstimulasi semakimal mungkin kaum miskin untuk menghasilkan pendapatan dari utilisasi aset produktif. Program tersebut juga menstimulasi kaum miskin supaya bisa menabung untuk mengantisipasi keadaan-keadaan tak terduga serta mulai membiasakan untuk berinvestasi yang bertujuan menopang ketidakstabilan pendapatan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejumlah program microfinance di negara-negara berkembang yang berfokus untuk mendanai kegiatan-kegiatan kewirausahaan, di mana pemberian kredit didasarkan atas konsistensi kaum miskin, memberi bukti bahwa pada dasarnya kaum miskin pun memiliki ketaatan untuk menabung.
Ke depan, kiranya upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan lebih difokuskan ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu kaum miskin yang memiliki usaha kecil dan semangat kewirausahaan dengan bantuan modal, pemberian kepastian hukum atas lahan yang dimiliki petani gurem, fasilitasi PKL tanpa mengesampingkan habitat usaha dan prospek pasar atas barang dagangan mereka. Semoga apa yang diungkapkan oleh Roosevelt freedom from want hadir di negeri ini.
Ikhtisar
- Kemiskinan yang cenderung meningkat di negeri ini perlu diatasi dengan strategi khusus.
- Selama ini, pemerintah lebih banyak menjalankan program-program pengentasan kemiskinan yang berbasis pendapatan.
- Program pengentasan berbasis pendapatan itu antara lain berupa Bantuan Langsung Tunai, Raskin, bantuan untuk kesehatan, dan sejenisnya.
- Banyak pengalaman menunjukkan bahwa pemberantasan kemiskinan dengan berbasis aset, hasilnya bisa lebih permanen dan berkelanjutan.
Sumber: Harian Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar