Selasa, 29 November 2011

Artikel Kebijakan

Kebijakan (policy) adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau penyakitnya keliru (Dunn, 2003).

Kebijakan dipelajari dalam ilmu kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta dirancang untuk menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul ketika warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-tujuan demokrasi (Lasswell, HD dalam Kartodiharjo, 2009).

Ilmu kebijakan (Policy Sience) dirancang untuk menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul ketika warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-tujuan publik. Ia menyangkut tidak hanya produksi fakta, melainkan juga nilai-nilai dan tindakan yang dipilih. Ilmu kebijakan berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif (benar-salah, baik buruk, penting-tidak penting).

Banyak ahli mengemukakan definisi dari Kebijakan Pemerintah (Public Policy). Soenarko (1992) dalam buku Public Policy (Kebijakan Pemerintah) menyimpulkan bahwa Public Policy (Kebijakan Pemerintah) ialah suatu keputusan yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang, untuk kepentingan rakyat (Public Interest). Sedangkan Dye (1972) menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan itulah yang merupakan public policy atau kebijakan pemerintah. Jadi bentuk konkrit dari kebijakan pemerintah (public policy) adalah produk hukum.

Teori Dan Dasar Hukum Kebijakan

Selain itu juga membahas pendekatan setting agenda, yaitu yang membahas bagaimana persoalan dan agenda dibentuk dalam setting institusional, bagaimana partai, kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan saling berinteraksi untuk menentukan apa-apa yang dianggap isu politik dan apa-apa yang bukan isu politik. Menurut Schattscheneider, serta Cobb dan Elder menyatakan proses politik mungkin tak terlalu terbuka untuk memasukan semua problem ke dalam perhatian politik.

Pada pembahasan berikutnya akan membahas konstribusi penting untuk analisa agenda  oleh para teoretisi yang berpendapat bahwa keputusan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan (non-decision), yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalang-halangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem ke dalam agenda utama. Pendapat ini juga menyatakan bahwa jika kita ingin memahami problem didefinisikan dan agenda ditetapkan kita harus masuk lebih jauh ke dalam relasi kekuasaan, kedalam cara nilai dan keyakinan orang-orang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang tidak bias diamati secara empiric atau behaviroeal.

Schattschneider, Cobb dan Elder menyatakan bahwa proses politik mungkin tidak terlalu terbuka untuk memasukkan semua problem dan proses penentuan agenda mungkin sangat bias dan dimuati oleh kepentingan tertentu. Kekuasaan riel dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan; yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem itu ke dalam agend utama. Jika kita ingin memahami bagaimana problem itu didefinisikan dan agenda itu ditetapkan, maka kita harus masuk ke dalam relasi kekuasaan dan ke dalam cara nilai atau diamati secara empiris atau behavioral.  Selanjutnya yaitu pendekatan makro yang lebih sintesis dengan menfokuskan pada pendekatan-pendekatan mengajukan penjelasan yang makro.

Kita dapat  sepakat pada isunya tapi tidak sepakat pada apa yang sesungguhnya menjadi persoalan, dank arena itu kita juga bisa berbeda pendapat soal kebijakan yang harus diambil. Fakta adalah sesuatu yang tidak berbicara sendiri, namun perlupenafsiran. Untuk itu sebuah problem  harus didefinisikan , distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama.

Sebuah problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Problem berkaitan dengan persepsi dan persepsi berkaitan dengan konstruksi. Karakteristik utama dari problem kebijakan, yang berbeda dengan jenis lain semisal matematika atau fisika adalah problem-problem itu sulit didefinisikan dengan baik, Sebuah definisi suatu problem adalah bagian dari problem itu sendiri.  Analisis adalah partisipasi dalam problem, bukan sekadar mengamati problem.

Kesulitan dengan problem kebijakan ini diperparah oleh kompleksitas dan definisinya yang kurang jelas (ill-defined) yang pada akhirnya mengakibatkan ill-structured.

Pada era Victorian berangapan bahwa produksi ilmu pengetahuan merupakan mesin perbaikan. Fakta-fakta merupakan kekuatan politik yang kuat. Akan tetapi beberapa para ahli (Harris: 1990:389) meragukan seberapa jauh positivism yang belum matang ini bisa direalisasikan dalam praktek. Di Jerman misalnya, pada tahun 1870-an dan 1880an Bosketika legislasi kesejahteraan social Bismarck diambil dari laporan temuan fakta.  Ini adalah fenomena yang muncul tradisi riset social yang berfokus pada  problem dan upaya peringanan dan solusi problem.

Interaksionisme Simbolik. Aliran ini berkembang di Chicago di periode antara dua perang dunia dan dipengaruhi oleh pragmatism John Dwey, William James dan GH. Mead. Pendekatan ini mengandung tiga premis utama:
1.manusia bertindak berdasarkan makna yang menurut mereka ada dalam sesuatu hal,
2.makna adalah hasil dari interaksi social.
3.Makna dimodifikasi dan ditangani melalui proses interpretasi yang dipakai oleh inidividu dalam menghadapi “tanda-tanda”(signs) yang dijumpainya.

Pendekatan Sejarah alam untuk problem social.
Tahap-tahap daur hidup problem menurut J.H.S. Bossard:
• Pengenalan problem
• Diskusi tentang tingkat keseriusan.’
• Usaha untuk perbaikan
• Perlu sebuah survey (untuk studi yang lebih cermat)
• Muncul beberapa perubahan terhadap orang2 yang tertarik dgn problem.
• Penekanan pada factor dasar yang luas.
• Menghadapi kasus-kasus individual.
• Perubahan lain dalam diri personel
• Program disusun secara induktif
• Penyempurnaan teknik studi dan pembahasan.
• Penyempurnaan konsep.
• Perubahan lain dalam personel.



Pengelolaan Lingkungan

Lingkungan merupakan semua aspek kondisi eksternal fisik dan biologik dimana organisme hidup. Kondisi eksternal yang baik akan mendukung kehidupan organisme yang seimbang dan produktif. Sebaliknya lingkungan hidup organisme yang merosot akan mendorong kehidupan organisme menuju kehancuran (Wirakusumah, 2003). Sedangkan keterkaitan antara organisme-organisme dengan lingkungannya, baik lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik merupakan ranah ekologi.

Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, pengertian mengenai lingkungan ini disandingkan dengan sumberdaya alam. Sumberdaya, dalam pengertian umum adalah sumber persediaan, baik cadangan maupun yang baru. Sedangkan dalam pengertian ekonomi, sumberdaya merupakan input bagi suatu proses produksi. Ireland (1974 dalam Soerianegara, 1977) mengartikan sumberdaya alam sebagai keadaan lingkungan alam yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sementara Isard (1972 dalam Soerianegara, 1977) mendefinisikannya sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kesejahteraannya.

Berdasarkan pengertian di atas, pengelolaan lingkungan merupakan serangkaian upaya untuk mempertahankan kondisi eksternal, baik fisik maupun biologik, agar selalu mendukung kehidupan yang seimbang dan produktif. Sebagai contoh konsep pengelolaan lingkungan adalah yang dikembangkan oleh Holling (1978 dalam Mitchell, 2007) dengan pengelolaan lingkungan adaptif melalui bukunya Adaptive Environmental Assessment and Management, yang bertujuan mengembangkan sebuah pendekatan alternatif untuk analisa dampak lingkungan, khususnya bagi para pembuat keputusan dan pengelola yang tidak puas dengan prinsip dan metode tradisional. Pesan khusus di dalamnya adalah bahwa suatu proses baru diperlukan untuk menghadapi tantangan mendasar yakni ketidakpastian dan hal-hal yang tak terduga.

Pendekatan adaptif diperlukan, karena ketika kebijakan dirumuskan, maka pengelolaan, proses perancangan dan analisanya dimulai. Pendekatan ini didasarkan sebuah premis bahwa pengetahuan tentang sistem yang dihadapi tidak selalu lengkap. Bukan hanya ilmunya yang tidak lengkap, namun sistem itu sendiri selalu bergerak dinamis.


Analisa dan Formulasi Kebijakan
Analisa kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktisi yang ditujukan untuk menciptakan secara kritis, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 2000). Analisa kebijakan dapat pula dipandang sebagai ilmu yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

Ada 3 (tiga) bentuk analisis kebijakan, yaitu: (1) Analisa Kebijakan prospektif, (2). Analisa kebijakan retrospektif, dan (3) Analisa Kebijakan terintegrasi (Dunn, 2000). Analisa kebijakan prospektif adalah suatu analisis kebijakan yang dilakukan untuk memproduksi dan mentransformasikan informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisa kebijakan prospektif merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi yang dipakai dalam merumuskan alternative dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan. Analisa kebijakan retrospektif adalah suatu analisis kebijakan yang dilakukan untuk menciptakan dan mentaformasikan informasi setelah aksi kebijakan dijalankan. Sedangkan analisa kebijakan integrasi adalah merupakan kombinasi dari analisis prospektif dan analisis kebijakan retrospektif, yaitu untuk menciptakan dan mentransformasikan informasi sebelum dan setelah aksi kebijakan diambil.

Analisa meso berasal dari bahasa Yunani yaitu mesos berarti menengah, atau level analisis menengah atau analisis perantara yang berfokus pada kaitan antara definisi problem, penentuan agenda, dan proses pengambilan keputusan serta implementasinya. Adapun pendekatan kebijakan adalah penelitian yang berfokus pada problem dan bagaimana problem itu disusun dan dipikirkan menjadi atau tidak menjadi isu dalam agenda kebijakan. Sedangkan pembuatan kebijakan dalam pengertian ini dapat dilihat sebagai sebentuk “pemecahan teka-teki (puzzlement) kolektif atas nama masyarakat; ini memerlukan pengetahuan maupun keputusan (Heclo, 1974:305).

Analisa meso adalah level analisis menengah atau analisis perantara yang berfokus pada kaitan antara definisi problem, penentuan agenda, dan proses pengambilan keputusan serta implementasinya. Adapun pendekatan kebijakan adalah penelitian yang berfokus pada problem, sedangkan pembuatan kebijakan dalam pengertian ini bias dilihat sebagai sebentuk “pemecahan teka-teki (puzzlement) kolektif atas nama masyarakat; ini memerlukan pengetahuan maupun keputusan (Heclo, 1974:305).

Analisa meso membahas tentang Studi kebijakan dari sudut pandang problem adalah Pendekatan Problem Sosial  berasal dari gagasan dan periset social abad 19. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan untuk studi problem dan agenda politik yang berkaitan dengan studi opini public dan media massa. Dalam studi ini focus utama adalah bagaimana opini public dan media masa berinteraksi dengan kebijakan untuk mendefinisikan agenda dan problem.

Selain itu juga membahas pendekatan setting agenda, yaitu yang membahas bagaimana persoalan dan agenda dibentuk dalam setting institusional, bagaimana partai, kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan saling berinteraksi untuk menentukan apa-apa yang dianggap isu politik dan apa-apa yang bukan isu politik. Menurut Schattscheneider, serta Cobb dan Elder menyatakan proses politik mungkin tak terlalu terbuka untuk memasukan semua problem ke dalam perhatian politik.

Pada pembahasan berikutnya akan membahas konstribusi penting untuk analisa agenda  oleh para teoretisi yang berpendapat bahwa keputusan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan (non-decision), yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalang-halangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem ke dalam agenda utama. Pendapat ini juga menyatakan bahwa jika kita ingin memahami problem didefinisikan dan agenda ditetapkan kita harus masuk lebih jauh ke dalam relasi kekuasaan, ke dalam cara nilai dan keyakinan orang-orang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang tidak bias diamati secara empiric atau behaviroeal.


Selanjutnya, Weimer & Vining (1999 dalam Kartodiharjo, 2009) menjelaskan mengenai lingkup kebijakan, yang terdiri dari : Riset Kebijakan dan Analisis Kebijakan. Riset Kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan beberapa variabel akibat perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan yg relevan melalui metodologi yang formal.

Sedangkan analisis kebijakan merupakan perbandingan dan evaluasi dari solusi yang tersedia untuk memecahkan masalah, untuk orang atau lembaga tertentu melalui sintesis, riset-riset dan teori. Sutton (1999) menunjukkan bahwa dengan kajian kebijakan akan dihasilkan pengetahuan mengenai baik atau buruknya kinerja kebijakan yang dihasilkan saat ini melalui identifikasi arena kebijakan dengan menggunakan metoda yang valid.

Analisa kebijakan dapat berupa : (i) Analisa Kebijakan Prospektif, yang memproduksi dan mentransformasikan informasi sebelum aksi kebijakan dilakukan; dan (ii) Analisa Kebijakan Retrospektif, yang memproduksi dan mentransformasikan informasi sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan dengan pengertian yang paling umum adalah dari hanya berfikir keras dan cermat hingga melalui langkah rumit dengan data dan model yg kompleks untuk menghasilkan solusi sebagai informasi. Selanjutnya, mengkomunikasikan informasi ini juga menjadi bagian dari analisis kebijakan. Analisis kebijakan bukan hanya produksi fakta, juga nilai-nilai dan tindakan yang dipilih. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) tujuan analisis kebijakan..
Analisis kebijakan terdiri dari beberapa tahap/prosedur sebagai berikut :
• PEMANTAUAN, deskripsi, sebab dan akibat kebijakan masa lalu;
• PERAMALAN, konsekuensi dari kebijakan pada masa yang akan datang;
• EVALUASI, nilai atau kegunaan kebijakan yang lalu dan pada masa yang akan datang;
• REKOMENDASI, serangkaian tindakan pada masa yang akan datang yang mendatangkan akibat bernilai; dan
• PERUMUSAN MASALAH, yang berada dalam setiap tahapan.

Nilai menurut Kartodiharjo (2009) merupakan tolok ukur utama apakah masalah telah teratasi. Pernyataan nilai dan penentuan nilai adalah relatif tetapi juga obyektif. Nilai merupakan persetujuan terhadap sesuatu yang kebenarannya tidak tergantung pada pemikiran yang menyebabkan persetujuannya. Nilai memiliki sifat relativisme obyektif, yang dibedakan dengan tandingan subyektifnya. Selain itu, nilai mengandung advokasi kebijakan, sebagai cara menghasilkan informasi yang relevan dan argumen yg masuk akal mengenai solusi bagi masalah-masalah publik. Dengan demikian, nilai dapat diperdebatkan secara rasional dan dapat dipelajari dengan metoda ilmu pengetahuan.


Kartodiharjo (2009) menjelaskan bahwa terdapat tiga tipe kekeliruan dalam analisis kebijakan yang menyangkut masalah dan situasi masalah, yaitu :
-    Problem resolving atau memecahkan kembali masalah dengan analisis ulang pemecahan masalah dari masalah yg sebenarnya telah ditetapkan dengan tepat;
-    Problem unsolving atau pementahan solusi masalah dengan membuang solusi karena kesalahan dalam penetapan masalah;
-    Problem dissolving atau pementahan masalah dengan membuang masalah yang telah ditetapkan secara tidak tepat sementara solusi belum dijalankan.


Sedangkan formulasi kebijakan menurut Lester and Stewart (2000) adalah suatu tahap dalam proses kebijakan yang dapat diterima dan relevan dengan tindakan untuk menangani masalah publik tertentu yang diidentifikasi dan ditetapkan menjadi undang-undang.

Formulasi sendiri merupakan turunan dari formula/rumus yang secara ringkas berarti mengembangkan rencana, metode, resep, dalam upaya mengurangi kebutuhan, sebagai tindakan untuk mengatasi masalah (Jones, 1984). Formulasi kebijakan mengisyaratkan diperlukannya tindakan yang lebih teknis dengan cara menerapkan metode penelitian guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan permasalahan kebijakan dan mencari berbagai alternatif solusi kebijakan. Masalah utama yang dihadapi dalam formulasi kebijakan adalah merumuskan apa sebenarnya masalah kebijakan yang harus dipecahkan. Sering terjadi, analisis kebijakan tidak diawali dengan rumusan permasalahan yang jelas.

Terdapat beberapa tipe formulasi kebjakan, yaitu : (i) Rutin; (ii) Analogi; dan (iii) Kreatif. Sedangkan metode formulasi terbagi menjadi : (i) model linier, model rasional, atau common-sense (Sutton, 1999); (ii) Inkremental/tambal sulam (berdasarkan kebijakan/keputusan yang sudah ada kemudian diperbaiki/ disempurnakan untuk memecahkan masalah yang baru tersebut); dan (iii) Model sistem.
Sutton (1999) melakukan analisis terhadap proses-proses pembuatan kebijakan dengan berbagai sudut pandang: antropologi, ilmu politik, sosiologi, hubungan internasional, dan manajemen.

Dalam model rasional, langkah-langkah pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut :

  • Pengambil kebijakan dihadapkan pada suatu masalah
  • Tujuan dan nilai-nilai yang ingin dicapai dapat di-rangking
  • Alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah dirumuskan
  • Analisa biaya dan manfaat dilakukan untuk masing-masing alternatif
  • Membandingkan masing-masing alternatif
  • Memilih alternatif yang terbaik.
Dalam model incremental, kebijakan baru hanya mengubah hal-hal kecil dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan kebijakan ditetapkan berdasarkan satu hal yang dianggap paling penting. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan dianggap optimal apabila disepakati oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar dikatakan oleh pihak tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan masalah.

Proses pembuatan kebijakan ini cenderung mengikuti tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan dikemudian hari akan kembali dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki dengan kebijakan baru. Hal demikian ini didasari oleh alasan bahwa perubahan besar dimulai dari yang kecil. Alasan demikian ini mempunyai kelemahan, karena proses perbaikan kebijakan berikutnya biasanya tidak didasarkan oleh kebijakan sebelumnya atau sekedar mencampur-aduk berbagai perbaikan kebijakan yang ada, tanpa diketahui akibat yang satu terhadap lainnya.

Sedangkan pendekatan sistem merupakan cara yang dapat membantu manajer untuk memfokuskan sumberdaya yang terbatas ke arah terjadinya perubahan. Dalam model ini perhatian difokuskan kearah hubungan antar bagian dalam suatu organisasi, respon organisasi terhadap situasi eksternal, bagaimana organisasi mempercayai input dari luar organisasi. Total sumberdaya di dalam organisasi selalu terbatas, sehingga setiap upaya untuk menghasilkan perubahan harus memperhatikan penyeimbangan kembali prioritas-prioritas yang dilakukan.

Penentuan prioritas dengan mengunakan brainstorming, atau penilaian tertentu sangatlah memudahkan bagi pengambil kebijakan, dimana sang pengambil kebijakan dibatasi oleh waktu, dana dan sumber daya alam . Untuk itu bagi pengambil kebijakan dalam menentukan alternatif mana kebijakan yang akan ditempuh, ditentukan melalui skala prioritas.

Dalam pengambilan kebijakan yang ditentukan secara skala prioritas, tentunya sangat subyektif, apa yang menjadi prioritas bagi kelompok a belum tentu menjadi prioritas kelompok b. Apa yang menjadi prioritas sekarang belum tentu menjadi prioritas mas mendatang atau besuk.

Dalam hal sesuatu bersifat sistemik, integral dan holistic, maka pengambilan kebijakan haruslah memperhatikan semua aspek tersebut, dan untuk pemecahan masalah maka beberapa kebijakan yang simultan yang sejalan haruslah ditempuh dan dilaksanakan secara simultan menuju satu tujuan secara integral dan sistmetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar